PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA ERA MODERN
ِA. Pengantar
Sejarah pemikiran para filosuf oleh dunia Barat telah dibagi menjadi tiga periode, yaitu
pertama, zaman
kuno yang terbagi dua periode, yaitu zaman pra-Socrates dan
pasca-Socrates, di mana pada zaman ini terdapat kemajuan manusia.
Kedua, zaman
pertengahan, yakni zaman di mana alam pikiran dikungkung atau
didominasi oleh Gereja. Zaman ini telah menunjukkan kemunduran pemikiran
manusia, kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan sains amat
sulit dan perkembangan filsafat tersendat-sendat.
Ketiga, zaman modern, yakni zaman sesudah abad pertengahan berakhir hingga sekarang.
Namun
batas yang jelas tentang kapan abad pertengahan berakhir sulit
ditentukan. Begitupun juga dengan zaman modern itu sendiri, masih
terbagi-bagi lagi, yakni zaman Renaissance (14-17 M), zaman modern
(17-19 M) dan zaman kontemporer (abad 20 dst). Jadi yang dimaksud zaman
modern pada makalah ini adalah zaman modern pada abad 17-19 M yang
membicarakan tentang sumber pengetahuan.
Terlepas dari pembatasan
itu, yang jelas zaman modern sangat dinanti-nantikan oleh banyak pemikir
manakala mereka mengingat zaman kuno ketika peradaban begitu bebas,
pemikiran tidak dikekang oleh tekanan-tekanan di luar dirinya. Kondisi
semacam itulah yang hendak dihidupkan kembali pada zaman modern.
Kebebasan berpikir sebagai periode yang dilawankan dengan periode abad
pertengahan.
Sehubungan dengan hal-hal yang telah diuraikan di
atas, penyusun mencoba mengkaji tentang filsafat zaman modern yang kami
ambil dari beberapa referensi yang ada.
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Modern
Filsafat modern lahir melalui proses panjang yang berkesinambungan, dimulai dengan munculnya abad
Renaissance. Istilah ini diambil dari bahasa Perancis yang berarti kelahiran kembali. Karena itu, disebut juga dengan zaman pencerahan (
Aufklarung).
Pencerahan kembali mengandung arti “munculnya kesadaran baru manusia”
terhadap dirinya (yang selama ini dikungkung oleh gereja). Manusia
menyadari bahwa dialah yang menjadi pusat dunianya bukan lagi sebagai
obyek dunianya.
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan
dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern ini
sesungguhnya sudah dirintis sejak zaman
Renaissance. Awal mula
dari suatu masa baru ditandai oleh usaha besar dari Descartes untuk
memberikan kepada filsafat suatu bangunan yang baru. Filsafat berkembang
bukan pada zaman
Renaissance itu, melainkan kelak pada zaman sesudahnya (Zaman Modern).
Renaissance lebih dari sekedar kebangkitan dunia modern.
Renaissance ialah
periode penemuan manusia dan dunia, merupakan periode perkembangan
peradaban yang terletak di ujung atau sesudah Abad Kegelapan sampai
muncul Abad Modern. Zaman ini juga disebut sebagai zaman
Humanisme.
Maksud ungkapan ini ialah manusia diangkat dari Abad Pertengahan yang
mana manusia dianggap kurang dihargai sebagai manusia. Kebenaran diukur
berdasarkan ukuran Gereja (Kristen), bukan menurut ukuran yang dibuat
manusia.
Humanisme menghendaki ukuran haruslah manusia. Karena manusia mempunyai kemampuan berpikir, maka
humanisme menganggap manusia mampu mengatur dirinya dan mengatur dunia.
Jadi, zaman Modern filsafat didahului oleh zaman
Renaissance. Sebenarnya secara esensial zaman
Renaissance itu, dalam filsafat, tidak berbeda dari zaman modern. Ciri-ciri filsafat
Renaissance ada pada filsafat modern. Tokoh pertama filsafat modern adalah Descartes. Pada filsafat kita menemukan ciri-ciri
Renaissance tersebut. Ciri itu antara lain ialah menghidupkan kembali
Rasionalisme Yunani (
Renaissance),
Individualisme, Humanisme, lepas dari pengaruh agama dan lain-lain.
Filsafat modern menampakkan karakteristiknya dengan lahirnya aneka aliran-aliran besar filsafat, yang diawali oleh
Rasionalisme dan
Empirisme. Selain
kedua aliran itu, juga akan diketengahkan aliran-aliran besar lainnya
yang ikut berperan mengisi lembaran filsafat modern, yaitu
idealisme, materialisme, positivisme, fenomenologi, eksistensialisme dan
pragmatisme.
Filsafat abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:
1)
Aliran Rasionalisme dengan tokohnya Rene Descartes (1596-1650 M).
2)
Aliran Empirisme dengan tokohnya Francis Bacon (1210-1292 M).
3)
Aliran Kriticisme dengan tokohnya Immanuel Kant (1724-1804 M).
Para
filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari
kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari
diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang berperan ada beda
pendapat. Aliran
rasionalisme beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran
empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran
kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat berbeda itu.
C. Aliran-Aliran Yang Muncul Pada Zaman Modern Beserta Tokoh-Tokohnya Serta Pemikirannya
Rasionalisme
Kata
rasionalisme terdiri dari dua suku kata, yaitu “rasio” yang berarti akal atau pikiran, dan “isme” yang berarti paham atau pendapat.
Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat bahwa “kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia.”
Rasionalisme adalah
paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat
terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran ini, suatu
pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir.
Hanya rasio sajalah
yang dapat membawa orang kepada kebenaran. Yang benar hanyalah tindakan
akal yang terang-benderang yang disebut
Ideas Claires et Distinctes (pikiran yang terang-benderang dan terpilah-pilah). Idea terang-benderang ini pemberian Tuhan sebelum orang dilahirkan (
idea innatae= ide bawaan). Sebagai pemberian Tuhan, maka tak mungkin tak benar.
Oleh
karena itu, rasio dipandang kecuali sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan/kebenaran, juga sekaligus sebagai sumber
pengetahuan/kebenaran. Adapun pengetahuan indera dianggap sering
menyesatkan.
Aliran
rasionalisme ada dua macam yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama aliran
rasionalisme adalah lawan dari
autoritas dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Sedangkan dalam bidang filsafat,
rasionalisme adalah lawan dari
empirismedan sering berguna dalam menyusun teori pengetahuan. Jika
empirisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan mengetahui obyek
empirisme, maka
rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir, pengetahuan dari
empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berpikir adalah kaidah-kaidah yang logis.
Sejarah
rasionalisme sudah tua sekali. Thales telah menerapkan
rasionalisme dalam
filsafatnya. Ini dilanjutkan dengan jelas sekali pada orang-orang sofis
dan tokoh-tokoh penentangnya (Socrates, Plato, Aristoteles), dan juga
beberapa tokoh sesudah itu. Pada zaman modern filsafat, tokoh pertama
rasionalisme ialah Descartes yang dibicarakan setelah ini. Bersamaan dengan itu akan dibicarakan juga tokoh besar
rasionalisme lainnya, yaitu Baruch Spinoza dan Leibniz. Setelah periode ini
rasionalismedikembangkan secara sempurna oleh Hegel yang kemudian terkenal sebagai tokoh
rasionalisme dalam sejarah.
Di dalam karangan ini
rasionalisme dilihat
terutama sebagai reaksi terhadap dominasi Gereja pada Abad Pertengahan
Kristen di Barat. Sebagaimana nanti dapat dilihat, pada konteks itulah
kepentingan Descartes dibicarakan agak panjang lebar di sini. Descartes
lebih diperhatikan karena ada keistimewaan padanya: keberaniannya
melepaskan diri dari kerangkeng yang mengurung filosof Abad Pertengahan.
Zaman
modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh filsafat Descartes.
Tentu saja pernyataan ini bermaksud menyederhanakan permasalahan. Kata
modern di sini hanya digunakan untuk menunjukkan suatu filsafat yang
mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan, dengan corak
filsafat pada Abad Pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang
dimaksud di sini ialah dianutnya kembali
rasionalisme seperti
pada masa Yunani Kuno. Gagasan itu, disertai oleh argumen yang kuat,
diajukan oleh Descartes. Oleh karena itu, gerakan pemikiran Descartes
sering juga disebut bercorak
renaissance. Apa yang lahir kembali itu? Ya,
rasionalisme Yunani itu. Yang harus diamati di sini ialah apakah konsekuensi
rasionalisme pada masa Yunani akan terulang kembali.
Descartes
dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern. Menurut Bertrand Russel,
anggapan itu memang benar. Kata “Bapak” diberikan kepada Descartes
karena dialah orang pertama pada Zaman Modern itu yang membangun
filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh
pengetahuan akliah. Dialah orang pertama di akhir Abad Pertengahan itu
yang menyusun argumentasi yang kuat, yang
distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, bukan yang lainnya.
Menurut
catatan, Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya anggota parlemen
Inggris. Pada tahun 1612 Descartes pergi ke Prancis. la taat mengerjakan
ibadah menurut ajaran agama Katholik, tetapi ia juga menganut Galileo
yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh Gereja. Dari tahun
1629 sampai tahun 1649 ia menetap di Belanda.
Pengaruh keimanan yang begitu kuat pada Abad Pertengahan, yang tergambar dalam ungkapan
credo ut intelligam itu,
telah membuat para pemikir takut mengemukakan pemikiran yang berbeda
dengan pendapat tokoh Gereja. Apakah ada filosof yang mampu dan berani
menyelamatkan filsafat yang dicengkeram oleh iman Abad Pertengahan itu?
Ada. Tokoh itu adalah Descartes.
Descartes telah lama merasa tidak
puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan
korban itu. Amat lamban terutama bila dibandingkan dengan perkembangan
filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. la
ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen. Ia ingin filsafat
dikembalikan kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang
berbasis pada akal. Ia ingin menghidupkan kembali
rasionalisme Yunani.
Tokoh Rasionalisme dan Pemikirannya
Rene Descartes (1596-1650)
Peletak
fondasi aliran ini ialah Rene Descastes (Certasius/1596-1650) yang
digelar sebagai “Bapak filsafat modern”. Descartes berasal dari
Perancis, lahir tahun 1596 di sebuah kota bernama La Haye, dan wafat
tahun 1650 di Stockholm. Karya pentingnya ialah
Discours de la Methode (Uraian tentang Metode), terbit tahun 1637;
Mediationes de Prima Philosophia (Renungan Tentang filsafat), terbit tahun 1641; dan
Principia Philosophic (Prinsip-prinsip Filsafat), terbit tahun 1644. Semboyan dari aliran ini ialah ungkapan Descartes yang berbunyi:
Cogito ergo sum/
I think therefore I’m (saya berpikir maka saya ada).
Dari ungkapan sederhana ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai berikut:
- Eksistensi
manusia yang paling sempurna ialah rasionya, sehingga rasio berperan
sebagai “pengenal dirinya” sesuai dengan koherensi antara berpikir dan
berada. Artinya keberadaan manusia terwujud/terkonsep setelah dia
memikirkan dirinya.
- Dengan rasio, manusia berhasil menemukan
kesan (pengetahuan baru) tentang dirinya yang tidak atau kurang
diketahui sebelumnya, kecuali melalui sumber lain, yaitu kitab suci.
- Rasio
tidak hanya sebagai penemu kesan (pengetahuan dan kebenaran) melainkan
kebenaran/pengetahuan hanyalah yang diperoleh melalui rasio tersebut.
Untuk
menemukan basis yang kuat bagi filsafat, Descartes meragukan (lebih
dahulu) segala sesuatu yang dapat diragukan. Mula-mula ia mencoba
meragukan semua yang dapat diindera, objek yang sebenarnya tidak mungkin
diragukan. Inilah langkah pertama metode
cogito tersebut. Dia
meragukan adanya badannya sendiri. Keraguan itu menjadi mungkin karena
pada pengalaman mimpi, halusinasi, ilusi, dan juga pada pengalaman
dengan roh halus ada yang sebenarnya itu tidak jelas. Pada keempat
keadaan itu seseorang dapat mengalami sesuatu seolah-olah dalam keadaan
yang sesungguhnya. Di dalam mimpi seolah-olah seseorang mengalami
sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi, persis seperti tidak mimpi (jaga).
Begitu pula pada pengalaman halusinasi, ilusi, dan kenyataan gaib.
Tidak ada batas yang tegas antara mimpi dan jaga. Oleh karena itu,
Descartes berkata,” Aku dapat meragukan bahwa aku duduk di sini dalam
pakaian siap untuk pergi ke luar; ya, aku dapat meragukan itu karena
kadang-kadang aku bermimpi persis seperti itu, padahal aku ada di tempat
tidur, sedang bermimpi.” Tidak ada batas yang tegas antara mimpi
(sedang mimpi) dan jaga. Tatkala bermimpi, rasa-rasanya seperti bukan
mimpi. Siapa yang dapat menjamin kejadian-kejadian waktu jaga (yang kita
katakan sebagai jaga ini) sebagaimana kita alami adalah
kejadian-kejadian yang sebenarnya, jadi bukan mimpi? Tidak ada perbedaan
yang jelas antara mimpi dan jaga; demikian yang dimaksud oleh
Descartes.
Aku yang sedang ragu itu disebabkan oleh
aku berpikir. Kalau begitu,
aku berpikir pasti ada dan benar. Jika
aku berpikir ada, berarti
aku ada sebab yang berpikir itu aku.
Cogito ergo sum, aku
berpikir, jadi aku ada. Sekarang Descartes telah menemukan dasar
(basis) bagi filsafatnya. Basis itu bukan filsafat Plato, bukan filsafat
Abad Pertengahan, bukan agama atau yang lainnya. Fondasi itu ialah
Aku yang berpikir. Pemikiranku
itulah yang pantas dijadikan dasar filsafat karena aku yang berpikir
itulah yang benar-benar ada, tidak diragukan, bukan kamu atau
pikiranmu..Di sini kelihatanlah sifat
subjektif, individualists, humanis dalam filsafat Descartes. Sifat-sifat inilah, nantinya, yang mendorong perkembangan filsafat pada Abad Modern
Setelah
fondasi itu ditemukan, mulailah ia mendirikan bangunan filsafat di
atasnya. Akal itulah basis yang paling terpercaya dalam berfilsafat.
Spinoza (1632-1677)
Nama
lengkapnya ialah Baruch de Spinoza, dalam bahasa Latin disebut
Benedictus dan dalam bahasa Portugis dengan Bento. Spinoza lahir di
Amesterdam, Belanda tahun 1632 dan wafat tahun 1677 di Den Haag. Sebagai
filsuf pengikut
rasionalisme, Spinoza sangat tertarik kepada
Descartes. Kecuali ahli dalam bidang filsafat, filsuf ini juga ahli
dalam bidang politik, teologia dan etika. Ini terekam dalam tiga
bukunya, yaitu
Tractus Theologico Politicus (terbit tahun 1670), Ethica,
Or dine Ceometrico Demonstrate (terbit tahun 1677), dan
Tractus Politicus (terbit tahun 1677).
Spinoza mencita-citakan suatu system berdasarkan
rasionalisme,
untuk mencapai kebahagiaan bagi manusia. Menurutnya aturan dan hukum
yang terdapat pada semua hal tidak lain dari aturan dan hukum yang
terdapat pada idea. Sebagai dasar segala-galanya harus diterima sesuatu
yang tak terdasarkan kepada yang lain, jadi yang mutlak.
Berbeda
dengan Descartes, sesuai dengan semboyannya “Deus sen Natura” (Tuhan
atau alam), Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik. Menurut
Spinoza, seluruh kenyataan merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai
satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau alam. Segala sesuatu
termuat dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos, Kehendak
Tuhan berarti sama dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama
dengan kehendak Tuhan.
Leibniz (1646-1716)
Gottfried
Eilhelm von Leibniz adalah filosof Jerman, pusat metafisikanya adalah
idea tentang substansi yang dikembangkan dalam konsep
monad. Metafisika Leibniz sama memusatkan perhatian pada substansi, yaitu
prinsip akal yang mencukupi,
yang secara sederhana dapat dirumuskan “sesuatu harus mempunyai
alasan”. Bahkan Tuhan harus mempunyai alas an untuk setiap yang
diciptakan-Nya.
Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak, ia menyebut substansi-substansi itu
monad. Setiap
monad berbeda satu dari yang lain, dan Tuhan (sesuatu yang
supermonad dan satu-satunya
monadyang tidak dicipta) adalah pencipta
monad-monad itu.
Empirisme
Istilah
empirisme berasal dari kata
empiri yang berarti indra atau alat indra, dan ditambah akhiran
isme,
sebagai suatu aliran yang berpendapat bahwa pengetahuan/kebenaran yang
sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan diperoleh/bersumber
dari panca indra manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung.
Dengan kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman
manusia.
Untuk memahami inti filsafat
Empirisme perlu memahami dulu dua ciri pokok
Empirisme, yaitu mengenai teori makna dan teori tentang pengetahuan.
Teori makna pada aliran
empirisme biasanya
dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea
atau konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus
Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak
ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman).
Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat di dalam
bukunya,
An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (
innate idea) pada orang-orang rasionalis. Jiwa (
mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaannya kosong, laksana kertas putih atau
tabula rasa,
yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya
mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di
sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari
obervasi yang kita lakukan terhadap jiwa (
mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut
inner sense (pengindera dalam).
Teori
yang kedua, yaitu teori pengetahuan, dapat diringkaskan sebagai
berikut. Menurut orang rasionalis ada beberapa kebenaran umum seperti
“setiap kejadian tentu mempunyai sebab”, dasar-dasar matematika, dan
beberapa prinsip dasar etika, dan kebenaran-kebenaran itu benar dengan
sendirinya yang dikenal dengan istilah kebenaran
a priori yang
diperoleh lewat intuisi rasional. Empirisisme menolak pendapat itu.
Tidak ada kemampuan intuisi rasional itu. Semua kebenaran yang disebut
tadi adalah kebenaran yang diperoleh lewat observasi jadi ia kebenaran
a posteriori.
Aliran
empirisme dibangun
oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobbes (1588-1679), namun
mengalami sistimatisasi pada dua tokoh berikutnya, yaitu John Locke dan
David Hume.
Tokoh Empirisme dan Pemikirannya
Francis Bacon (1210-1292)
Menurut
Francis Bacon bahwa pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang
diterima orang melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta.
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan yang sejati. Pengetahuan
haruslah dicapai dengan
induksi. Jadi pemikiran Francis Bacon ini sangat bertentangan dengan pemikiran para filosof aliran rasionalis.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas
Hobbes berpendapat bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala
pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh dengan inderalah yang
merupakan kebenaran. Pengetahuan intelektual (rasio) tidak lain hanyalah
merupakan penggabungan data-data inderawi belaka.
John Locke (1632-1704)
John
Locke adalah filosof Inggris. la lahir di Wrington, Somersetshire, pada
tahun 1632. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652 ia
memasuki Universitas Oxford, mempelajari agama Kristen. Sementara ia
mempelajari vaknya, ia juga mempelajari pengetahuan di luar tugas
pokoknya.
Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika. Ia menerima
keraguan sementara
yang diajarkan oleh Descartes, tetapi ia menolak intuisi yang digunakan
oleh Descartes. Ia juga menolak metode deduktif Descartes dan
menggantinya dengan generalisasi berdasarkan
pengalaman; Jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (
reason). la hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.
Buku Locke,
Essay Concerning Human Understanding (1689), ditulis berdasarkan satu premis, yaitu
semua pengetahnan datang dari pengalaman.
Ini berarti tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep tentang
sesuatu yang berada di belakang pengalaman, tidak ada idea yang
diturunkan seperti yang diajarkan oleh Plato. Dengan kata lain, Locke
menolak adanya
innate idea; termasuk apa yang diajarkan oleh Descartes,
Clear and distinc idea.
Adequate idea dari Spinoza,
truth of reasondari Leibniz, semuanya ditolaknya. Yang
innate (bawaan) itu tidak ada.
Segala
sesuatu berasal dari pengalaman indrawi, bukan budi (otak). Otak tak
lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah
kertas itu terisi (konsep
tabula rasa). Dengan demikian, John
Locke menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi)
dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri). Ungkapan yang
sering digunakan ialah:
Exprience, in that all knowledge is founded (Pengalaman, semua pengetahuan berdasarkan pengalaman).
David Hume (1711-1776)
Tokoh
lain ialah David Hume (1711-1776) pelanjut kajian Locke. Home lahir di
Edinburg, Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama.
Hume seorang yang menguasai hukum, sastera dan filsafat. Karya
terpentingnya ialah
A Treatise on Human Nature, terbit tahun 1738-1740;
An Enquiry Concerning Human Understanding, terbit tahun 1748; dan
An Enquiry into the Principles of Moral, (terbit tahun 1751).
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang sangat singkat, yaitu:
I never catch my self at any time with out a perception (Saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman saya)
Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa, “seluruh pemikiran dan pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (
impression) dan impression inilah sebagai bahan dari ilmu.
Kriticisme
Pendirian aliran
Rasionalisme dan
Empirisme sangat bertolak belakang.
Rasionalisme berpendirian bahwa rasiolah sumber pengenalan atau pengetahuan, sedang
Empirisme sebaliknya berpendirian bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut.
Aliran ini mencoba untuk memadukan perbedaan pendapat kedua aliran tersebut dengan tokohnya adalah
Immanuel Kant (1724-1804). Ia
mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang
bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar
separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang
dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor
yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada
kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi
manusia tentang dunia.
Untuk menghilangkan pertentangan di antara
rasionalisme dan
empirisme, Kant mengadakan pemaduan di antara dua aliran ini dalam hal perumusan kebenaran. Dalam kaitan ini Kant mengatakan:
Pengetahuan
merupakan hasil kerjasama dua unsur; pengalaman dan kearifan akal budi.
Pengalaman inderawi merupakan unsur a posteriori (yang datang
kemudian), sedangkan akal budi merupakan unsur a priori (yang datang
lebih dahulu).
Kant mengkritik
Empirisme dan
Rasionalisme,
karena keduanya hanya mementingkan satu dari dua unsur ini, sehingga
hasilnya setiap kali berat sebelah. Padahal, katanya, pengetahuan selalu
merupakan sintesis. Untuk menekan pertentangan itu Kant megadakan
tiga pembedaan perumusan kebenaran, yaitu akal budi (
verstand), rasio (
vernunft) dan pengalaman inderawi.
Idealisme
Terma
idealisme berasal dari kata
idea yang berarti gambaran atau pemikiran, dan
isme yang
berarti paham atau pendapat. Idealisme ialah suatu pandangan dunia atau
metafisika yang menyatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau
sangat erat hubungannya dengan ide, pikiran atau jiwa. Atau bisa disebut
dengan aliran filsafat yang menjelaskan bahwa kebenaran/pengetahuan
sesungguhnya bukan bersumber dari
rasio atau
empiri, melainkan dari gambaran manusia tentang suatu pengamatan.
Tokoh Idealisme dan Pemikirannya
J. G. Fichte (1762-1914)
Fichte
adalah tokoh idealisme subyektif, yaitu pandangan bahwa sumber
pengenalan/pengetahuan bukanlah rasio teoritis atau praktis seperti kata
Immanuel Kant, melainkan pada aktivitas Ego. Pemikirannya didasarkan
pada konsep Ego Mutlak; yang menemukan dan meneruskan
pengertian-pengertian tentang obyek; ego tidak hanya sebagai “penemu”,
melainkan kata Fichte sekaligus sebagai yang “menciptakan benda-benda”
(obyek). Dengan demikian, peran manusia sebagai subyek sangat dominan di
dalam menggagaskan sesuatu.
F. W. J. Schelling (1775-1854)
Schelling
adalah tokoh idealisme obyektif sebagai kebalikan dari idealisme
subyektif. Menurut Schelling, kebenaran gambaran tentang dunia tidaklah
ditentukan oleh subyek (ego), melainkan oleh obyek pengamatan, yaitu
bagaimana obyek itu menampilkan dirinya, atau bagaimana obyek
menyadarkan subyek. Apabila aku (ego) menentukan kehendak, hal itu
diharuskan oleh kemestian yang mendahului kehendak, yaitu seluruh obyek
pengamatan kecuali sebagai pemberi kehendak, juga sebagai pemberi arah
bahkan mampu merubah kehendak.
Hegel (1770-1831)
Hegel
adalah tokoh idealisme mutlak, yang sangat berperan bagi penyemburnaan
idealisme. Hegel berhasil menampilkan idealisme yang terpadu setelah
dikoyak-koyak oleh Fichte dan Schelling. Apabila Fichte bersifat
subyektif dan Schelling bersifat obyektif, maka Hegel melihat secara
keseluruhan (totalitas).
Membuktikan kebenarannya yang mutlak itu, Hegel menyusun alur pikir yang disebut dengan
dialektika, yaitu
tesis, antitesis dan
sintesis.
Materialisme
Berasal dari “materi” yang berarti benda.
Materialisme adalah
aliran filsafat yang berpendapat bahwa, kebenaran tidaklah ditentukan
oleh gambaran, melainkan oleh benda dan seluruh kenyataan yang ada
dirumuskan dan ditentukan oleh benda. Aliran ini memandang bahwa
realitas seluruhnya adalah materi belaka.
Tokoh Materialisme dan Pemikirannya
Ludwig Feuerbach (1804-1872)
Menurutnya
hanya alamlah yang ada. Manusia adalah alamiah juga seperti halnya
benda seperti kayu dan batu. Memang orang materialis tidak mengatakan
bahwa manusia sama dengan benda seperti kayu dan batu, tetapi
materialisme mengatakan
bahwa pada akhirnya/pada prinsipnya/pada dasarnya manusia hanyalah
sesuatu yang material; dengan kata lain materi, betul-betul materi.
Menurut bentuknya memang manusia lebih unggul ketimbang sapi, batu, atau
pohon, tetapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
Karl Marx (1818-1883)
Pokok
pemikiran Marx diambil dari ajaran Filsafat Hegel dan Filsafat
Feurbach. Dari Hegel diambil metode dialektikanya dan mengenai sejarah,
sedang dari Feurbach diambil teori materialismenya. Ajaran filsafat Karl
Marx disebut juga
materialisme dialektika, dan disebut juga
materialisme historis. Disebut
sebagai materialisme dialektika karena peristiwa kehidupan yang
didominasi oleh keadaan ekonomis yang materiil itu berjalan melalui
proses dialektika:
tese, antitese dan
sintese.Disebut
materialisme historis, karena menurut teorinya, bahwa arah yang ditempuh
sejarah sama sekali ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi
yang materiil.
Positivisme
Istilah positivisme berasal dari kata “positive” yang berarti “jelas dan bisa digambarkan serta bermanfaat”.
Positivisme adalah
aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif. Sesuatu di
luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan
ilmu pengetahuan.
Menurut aliran ini, pemikiran manusia mengalami
perkembangan, mulai dari yang sangat sederhana, sampai yang modern,
yaitu positif. Pada tahap ini manusia hanya mempercayai yang riil saja
berdasarkan ilmu positif (
science positive) yang didasarkan pada pengamatan (
observasi) dan percobaan langsung (
eksperimentasi).
Melalui dua pembuktian ini, segala yang berbau metafisis dibuang,
karena tidak bisa dibuktikan dengan dua pendekatan tersebut.
Tokoh aliran ini adalah
Auguste Comte (1798-1857), ia
berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan,
tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen.
Jadi pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. Ia hanya menyempurnakan
Empirisme dan
Rasionalisme yang
bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metoda ilmiah dengan
memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya
positivisme itu sama dengan
Empirisme plus
Rasionalisme.
Fenomenologi
Istilah
fenomenologi berasal dari bahasa Yunani
phainomenon yang
mengandung tiga pengertian saling terkait, yaitu “yang langsung nampak,
sesuatu yang langsung menampakkan diri tetapi masih terselubung dan
proses penampakkan”. Berpijak pada tiga pengertian di atas, maka
fenomenologi menurut
istilah yang dikembangkan ialah “filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran merupakan hasil deskripsi intuitif manusia terhadap suatu
obyek sesuai dengan penampakan diri (fenomena) obyek tersebut”.
Jadi
aliran ini berbeda dengan rasionalisme (subyektif), empirisme
(obyektif) dan idealisme (idealistik). Maka fenomenologi menggabungkan
di antara subyek (manusia), obyek (yang diamati) dengan cara pengamatan
secara intuitif.
Tokoh Fenomenologi dan Pemikirannya
Edmund Husserl (1859-1938)
Beliau adalah filosof Jerman dan pendiri Fenomenologi. Pemikiran terpentingnya adalah: (1)
Teori kebenaran;
menurut Husserl kebenaran haruslah digabung di antara subyek dengan
obyek. Obyek diberi kesempatan memperkenalkan dirinya kepada subyek yang
mengamati, sesuai dengan semboyan
zurukh zu den schen selbs (kembalilah kepada benda-benda sendiri).
(2)
Tiga jenis reduksi;
agar intuisi dapat menangkap gejala-gejala di atas secara benar, maka
manusia harus melepaskan diri dari pengalaman-pengalaman dan gambaran
sebelumnya yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Caranya ialah
dengan tiga jenis reduksi, yaitu:
reduksi fenomenologis,
reduksi eiditis, reduksi fenomenologi transendental.
Max Scheler (1874-1928)
Max
Scheler merupakan pelanjut tradisi fenomenologi. Pemikiran eksklusif
Scheler dibanding fenomenolog (filsuf fenomenologi) lainnya ialah
tentang agama. Menurutnya, agama dan filsafat merupakan dua entitas
otonom sesuai dengan posisinya. Kendati memiliki otonomi eksklusif,
namun di antara keduanya memiliki keterikatan. Misalnya, dengan memahami
metafisis dalam filsafat tidak serta merta dapat memahami konsep
metafisika agama, karena keduanya memiliki aktus kodrati yang berbeda.
Sebab itu kebenaran agama hanya dapat diterima atas dasar kepercayaan
religius, bukan kebenaran metafisis-filosofis.
Di dalam upaya
menemukan kepercayaan religius, Scheler menggunakan pendekatan
fenomenologi. Melalui pendekatan fenomenologi ini, menurut Scheler,
dapat ditampilkan ciri dasar
aktus religius, yaitu bahwa aktus
itu mempunyai intensi yang transendental dunia (yang ilahi), dan yang
ilahi ini menjadi dasar dari aktus religius. Dengan kata lain,
aktus religius itu membutuhkan pemenuhan intensional dari dunia transenden.
Aktus religius membutuhkan
suatu obyek yang tak terbatas, yaitu yang ilahi. Oleh karena itu,
kebutuhan akus religius hanya dapat terpenuhi oleh sesuatu yang diyakini
subyek sebagai berasal dari Tuhan.
Eksistensialisme
Istilah
eksistensialisme berasal dari kata
eksistensi dari kata dasar
exist. Kata
exist itu sendiri adalaha bahasa Latin yang artinya:
ex; keluar dan
sistare; berdiri. Jadi
eksistensi adalah
berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Secara umum eksistensialisme
dimaksudkan sebagai aliran filsafat yang membicarakan keberadaan segala
sesuatu, termasuk manusia. Permasalahannya ialah, siapakah yang
benar-benar berada (bereksistensi); apakah manusia, atau Tuhan atau
kedua-duanya.
Tokoh Eksistensialisme dan Pemikirannya
Martin Heidegger (1889-1976)
Pemikiran Heidegger ialah mengenai ada/realitas dan waktu
(sein und zeit), yaitu
apakah ada itu konkrit atau tidak. Persoalan yang menjadi sorotan
utamanya ialah pemaknaan “Aku ada”. Menurutnya, manusia adalah suatu
makhluk yang terlempar di dunia ini tanpa persetujuannya. Ia seolah
berada di jurang ketiadaan (
nothingness) yang sangat dalam yang
menyebabkannya gelisah. Hal ini menurutnya, merupakan kelemahan manusia
dan sebagai dorongan agar ia dapat memahami akan eksistensinya. Sebagai
puncak eksistensi, manusia berbeda dengan benda-benda sekitarnya. Namun
manusia mempunyai kecenderungan untuk menjadi suatu benda.
Soren Kierkegard (1813-1855)
Kierkegard
dipandang sebagai tokoh eksistensialisme teis, yaitu berupaya
mengangkat eksistensi manusia tanpa harus membuang jauh Tuhan dari
kehidupan manusia. Ungkapannya ialah: “Saya menjadi sebagaimana saya
ada”. Melalui ungkapan ini Kierkegard menempatkan manusia sebagai
satu-satunya yang berkeistensi yang berhadapan dengan eksistensi Tuhan.
Hanya manusia yang bereksistensi bukan berarti yang lain tidak ada.
Hanya saja tingkat eksistensi dunia, binatang-binatang dan makhluk
lainnya lebih rendah, karena mereka hanya ada, tidak mengada.
Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata
pragma (bahasa
Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan, dan juga manfaat. Pragmatisme
adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan
nyata. Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relative tidak mutlak.
Tokoh Pragmatisme dan Pemikirannya
William James (1842-1910)
Sebagai
pendiri pragmatisme, pemikiran terpentingnya ialah mengenai makna
pragmatisme. Pragmatisme merupakan filsafat ala Amerika yang berciri
pragmatis. Orang Amerika tidak puas dengan filsafat teoritis yang
bertanya “apa itu”, tetapi memasuki filsafat praktis yang bertanya “apa
gunanya”. Sistematisasi dari jenis kedua inilah yang melahirkan filsafat
pragmatisme. Oleh karena itu, dikaitkan dengan aliran
rasionalisme dan
empirisme, pragmatisme berada di antara dua aliran tersebut.
Pandangan
filsafatnya, diantaranya menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,
berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal
yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita
anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah,
karena dalam praktek, apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.
Ukuran segala sesuatu ialah manfaat yang
praktis. Pandangan ini mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk agama
dan moral. Dalam kaitan dengan agama, James tidak bertanya “kebenaran
agama” yang ia tanya ialah “apakah hasilnya agama menjadi pedoman hidup
saya”. Jadi, manusia bebas memilih di antara percaya dan tidak percaya,
sesuai dengan pertimbangan fragmatisnya. Begitu juga dalam bidang moral,
ukuran baik buruk ditentukan oleh adakah manfaat dari suatu perbuatan;
jika ada dipandang baik, dan jika tidak dipandang buruk.
John Dewey (1859-1952)
Sebagai
pengikut filsafat pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas
filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat
tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang
praktis, tidak ada faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak
pada pengalaman dan mengolahnya secara praktis.
Menurutnya tak ada
sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa bergerak dan berubah. Jika
mengalami kesulitan, segera berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Maka
dari itu berpikir tidak lain daripada alat untuk bertindak. Kebenaran
dari pengertian dapat ditinjau dari berhasil tidaknya mempengaruhi
kenyataan. Satu-satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur
pengalaman dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metoda
induktif.
Referensi Umum
Hamersma, Harry.1984.
Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT Gramedia.
Nasution, Hasan Bakti. 2001.
Filsafat Umum. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Poedjawijatna, I.R.2005.
Pembimbing Ke Arah Filsafat. Cet. 12. Jakarta: Rineka Cipta.
Syadali, Ahmad dan Mudzakir. November 1997.
Filsafat Umum. Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2003.
Filsafat Ilmu: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. Cet. 12. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
TIM Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM. 2004.
Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Sumber:
http://muhfathurrohman.wordpress.com/learning/